Desa Putang terletak di Kecamatan Long Kali, Kabupaten Paser, Provinsi Kal-Tim merupakan desa dengan konsep pertanian hortikultura. Kabupaten Paser dikenal sebagai daerah pertanian yang baik, dimana jenis usaha budidaya bawang merah, cabe rawit, labu putih, jahe, kopi, dan lain-lainl.
Dalam situs resmi pemerintah Kab. Paser Kec. Long Kali merupakan penghasil sayur-sayuran dan sawit dengan produksi tertinggi di Paser yaitu sekitar 208,43 ton/tahun dengan luas lahan 87 Hektar.
Selain itu Desa Putang juga merupakan penghasil labu putih dengan memproduksi yang tinggi yatu sekitar 7.089,43 ton/tahun dengan luas lahan sekitar 37 Ha. Setiap minggu sekitar 15 ton dikirim keluar provinsi seperti ke Jakarta, Sulawesi, dan lain sebagainya. Pertanian hortikultura di Desa Putang sudah berlangsung hampir lima belas tahun. Selain tanaman jangka pendek banyak juga lahan ditanami tanaman panjang seperti kopi, jahe, coklat dan sawit. Khusus budidaya labu putih menghasilkan produksi tinggi karena disertai perawatan yang baik.
Data resmi pemerintah Kab. Paser menjelaskan bahwa Kec. Long Kali merupakan penghasil labu putih dengan memproduksi tinggi yaitu sekitar 2.041 ton/ tahun dengan luas lahan
- 424 Ha. Alasan mengapa petani beralih dari tanaman labu putih dan tanaman hortikultura karena harga labu putih semakin menurun, sementara harga produksi tanaman hortikultura lebih menjanjikan. Akibat dari penurunan harga labu putih tersebut memaksa petani menebang tanaman-tanaman labu putih lalu beralih ke tanaman hortikultura.
Meskipun demikian, karena banyaknya peralihan petani labu putih ke hortikultura juga mengakibatkan penurunan harga akibat produksinya jadi menumpuk. Menurut salah satu penyuluh sekaligus petani di desa tersebut salah satu penyebabnya adalah pola tanam, petani secara bersamaan menanam tanaman hortikultura yang seharusnya diimbangi dengan tanaman-tanaman lainnya.
Untuk tanaman hortikultura berbeda dengan tanaman pangan dimana tanaman pangan harus ditanaman secara serempak (bersamaan). Tentunya hal ini dipengaruhi oleh perilaku petani dalam menanggapi peluang pasar tersebut. Meskipun telah mendapat saran dari beberapa penyuluh, namun petani tetap saja menanam secara bersamaan.
Untuk hal seperti ini peran dari tokoh-tokoh maupun kelompok-kelompok tani seharusnya bisa berperan karena mereka adalah panutan. Di Desa Putang kurang lebih ada 20-an kelompok tani, tetapi masih ada juga petani yang tidak bergabung dalam kelompok tani.
Tentang tradisi di Desa Putang, masyarakat mengenal adanya Olo opat pulih lo (acara hari ke 40) merupakan acara yang terpenting dalam rangkaian acara/ritual upacara kematian di Desa Putang.
Tahapan acara biasanya dimulai dari acara olo pertama (malam pertama), acara malom ketolu (malam ke tiga), acara malom ke turu (malam ketujuh), dan acara malom yo ke opat puloh (malam ke empat puluh). Acara malom pertama (malam pertama) ada dua kegiatan yaitu siang dan malam. Pada siang hari acara dimulai dari pemakaman mayat. Dalam acara ini keluarga, kerabat dekat maupun kerabat jauh, serta masyarakat sekitar lingkungan rumah orang yang berduka, berbondong-bondong datang melayat.
Pelayat biasanya hadir membawa sadekka (sumbangan untuk keluarga yang berduka) berupa barang atau kebutuhan untuk mengurus mayat. Selain itu ada juga membawa moit sen atau amplop berisi uang. Pada acara pemakaman ini perlu disiapkan ayam kampung, kambing serta kue-kue tradisional. Selanjutnya ayam dan kambing tersebut diolah dan dimasak. Setelah masak lalu doa dibacakan oleh ketua adat (mulung). Ketua adat disini adalah pemimpin semua ritual.
Namun sebelum pembacaan doa, semua urusan terhadap si mayat termasuk hutang piutang semuanya harus sudah dilunasi. Setelah semuanya terpenuhi barulah dilaksanakan sesajen yang telah dibacakan doa oleh kepala adat (mulung) lalu dibagi-bagikan kepada seluruh keluarga dan masyarakat yang hadir.
Dengan dibagi-bagikannya sesajen tersebut maka berakhirlah kegiatan siang itu, keluarga menyiapkan keperluan acara zikir malam.
Acara pemakaman pada pagi hingga siang hari adalah bentuk penghormatan terhadap almarhum yang telah meninggal dunia. Para pelayat datang adalah simbol ikatan kekeluargaan dan hubungan antara warga masih terjalin baik.
Sedangkan hewan-hewan yang dipotong adalah simbol untuk mendapat keselamatan keluarga, kerabat serta orang-orang yang ditinggalkan agar mendapat perlindungan dan pertolongan dari yang Maha Kuasa.
Pada kegiatan malam bongi (malam hari) dilaksanakanlah acara membaca yasin, biasa disebut malom beroah. Pihak keluarga terdekat menyampaikan ucapan terima kasih kepada pelayat sekaligus dilakukan pembacaan doa-doa secara bergantian. Pada acara baca yasin, sajiannya adalah ayam kampung dan toli piak (telur rebus). Hidangan sajian malam itu lebih dahulu didoakan oleh kepala adat.
Acara malom ke tolu (malam ke tiga) pada acara ini keluarga mendatangi kuburan untuk mendoakan almarhum keluarga disertai pembacaan surat yasin. Setelah pembacaan yasin selesai, keluarga pulang ke rumah dan menyediakan sajian kambing, ayam kampung dan telur rebus, sama seperti acara bongai. Semua sajian dimasak lalu doa dibacakan oleh mulung selanjut makanan tersebut dibagikan kepada keluarga dan para hadirin.
Membaca yasin bertujuan agar ziarah keluarga dan mendoakan almarhum yang meningga diterima Allah SWT, sedangkan sesajian dimaksudkan sebagai bentuk sedekah dari orang yang meninggal. Sementara makna dari acara toli piak agar hubungan silaturahmi antara keluarga tetap terjalin.
Acara malom keturu (malam ketujuh) dilaksanakan pada siang dan malam hari. Acara pada siang hari adalah memotong satu ayam kampung dan satu telur rebus. Kegiatan ini hanya diikuti oleh keluarga dan pada malam harinya disiapkan kambing dan ayam kampung diikuti oleh kerabat serta masyarakat sekitar. Setelah doa dibacakan mulung makanan dibagikan-bagikan.
Acara olo keturu atau memperingati 7 hari meninggalnya seseorang bertujuan sebagai penghormatan terhadap orang yang meninggal, sajian dimaksudkan sebagai sedekah. Makna acara olo keturu untuk menghargai dan mengenang jasa-jasa dari orang yang meninggal.
Acara puncaknya adalah opat puluh lo (hari ke empat puluh) yang terdiri dari dua tahapan. Tahap pertama mendiwa (menurunkan) masyarakat mempercayai bahwa roh orang yang telah meninggal selama empat puluh hari terhitung sejak meninggalnya masih bersama-sama/ berdiam di dalam rumah, sehingga pelaksanaan ritual ini bermaksud untuk mendiwa (menurunkan) roh tersebut dan mengantarkannya ke tempat yang semestinya.
Roh yang masih berada di dalam rumah akan dikeluarkan/ diturunkan melalui penyelenggaraan ritual-ritual dan prosesnya hampir sama dengan yang sebelum-sebelumnya. Pada ritual ini sajian yang disiapkan adalah kambing serta ayam kampung sebanyak mungkin. Keluarga juga wajib menyiapkan perabotan berupa piring dan beberapa lembar pakaian. Ritual ini dilangsungkan pada waktu dini hari sekitar jam 03.00 sampai selesai. Semua anggota keluarga berkumpul membentuk lingkaran mengelilingi sajian. Suasana menjadi sakral manakala kepulan asap dupa semakin tebal. Barulah sajian tersebut didoakan oleh mulung. Sajian kemudian siap dibagikan kepada anggota keluarga dan para hadirin lalu dimakan bersama-sama.
Tujuan dari acara mendiwa adalah untuk menurunkan dan melepaskan roh orang yang meninggal dan mengantarnya ke alam yang semestinya (alam roh). Ada juga sajian yang disiapkan sebagai bekal kepada roh untuk melanjutkan perjalanannya. Makna mendiwa ini bahwa keluarga sudah ikhlas ditinggalkan oleh salah satu anggota keluarganya. Keluarga kemudian melaksanakan acara mangpepellao (mengganti nisan).
Tahap ke dua adalah tahapan notok sapi (menyembelih sapi). Dalam acara ini siapapun boleh hadir, tahapan ini dilaksanan pada pagi harinya. Pada acara baca yasin, sajian yang dipersiapkan adalah nasi ketan (bias pulut’), serta kue-kue tradisional (jaja’).
Daging dari hasil sembelihan tersebut dibagi-bagikan kepada anggota keluarga dari empat sudut penjuru angin baik yang hadir maupun tidak. Sisa daging akan dimasak diolah sesederhana mungkin. Siang hari semua menu makanan disiapkan, kemudian ditaruh di atas daun pisang, disusun dalam wadah sebuah nampan.
Setelah semuanya siap mulung kemudian membacakan doa. Ritual ini dilaksanakan di tengah lapangan terbuka. Semua hadirin duduk melingkar, khusyuk mendengarkan doa yang dibacakan oleh mulung. Makna acara ini rezeki yang didapat adalah pemberian Tuhan maka perlu diadakan syukuran agar keluarga yang ditinggalkan tabah.
Upacara tradisional Komunitas Paser Telake, Desa Putang merupakan bagian-bagin yang tak terpisahkan dari budaya mereka, tumbuh dan berkembang secara turun – temurun dan berfungsi mengukuhkan norma sosial dan nilai-nilai luhur .
Saat ini orang lebih tertarik mengikuti acara pesta dan upacara perkawinan. Padahal apabila kita amati dengan seksama sebagai mana yang telah diungkapkan di atas, upacara kematian megandung nilai-nilai luhur dan harus diwarikan kepada generasi karena tradisi mendiwa ulun mate mengandung nilai sosial, budaya kebersamaan dan rasa solidaritas. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota keluarga bersama masyarakat sekitar dalam suatu tempat, duduk dan ber’doa untuk tujuan yang sama.
Adapun nilai solidaritas tercermin dari berkumpulnya anggota kerabat maupun warga setempat dalam upacara tersebut, yang terdiri dari berbagai lapisan sosial menandakan bahwa terjalinnya rasa solidaritas diantara mereka.
Nilai kerja sama dalam bentuk gotong royong dalam tradisi mendiwa ulun mate nampak pada saat keluarga dibantu oleh warga sekitar untuk mempersiapkan segala keperluan dalam acara ini. Nilai kepercayaan di kalangan masyarakat yang masih memegang teguh tradisi meyakini bahwa roh orang yang sudah meninggal masih berada di atas rumah.
Masyarakat erat kaitannya dengan perubahan, dinamika di tengah masyarakat terjadi dalam beberapa aspek, salah satunya adalah aspek budaya. Kebiasan-kebiasaan atau tradisi-tradisi dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman maka perlahan-lahan nilainya bergeser. Mendiwa ulun mate di Desa Putang, Kecamatan Long Kali, Kabupaten Paser, Propinsi Kal-Tim, dulunya merupakan upacara wajib jika ada anggota keluarga yang meninggal, kini perlahan-lahan mulai ditinggalkan.
Pergesaran tradisi ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: faktor perkembangan zaman (globalisasi). Adakalanya nilai-nilai budaya yang telah begitu lama dipegang kuat lalu menjadi mudah dilupakan. Itu akibat kerasnya gempuran modernitas dan perkembangan zaman mempengaruhi pola pikir masyarakat. Sebuah kebudayaan yang mereka sudah menjadi tradisi lambat laun dianggap ketinggalan zaman lalu mereka ganti dengan budaya yang dianggap lebih moderen.
Faktor kemajuan dalam pendidikan masyarakat sangat mempengaruhi perubahan tradisi ini. Sekolah mempunyai peranan penting merubah pola pikir dan budaya masyarakat.
Kesadaran masyarakat untuk meningkatkan pendidikan semakin baik maka hal itu merubah pola pikir sehingga dengan ilmu yang dimiliki mereka mulai berfikir rasional sehingga kebiasaan yang tak masuk akal ditinggalkan.
Faktor ekonomi ikut menentukan banyaknya rangkaian acara/ritual yang dilakukan serta keperluan-keperluan sebagai syarat mutlak dalam penyelenggaraannya sedikit banyak mempengaruhi masyarakat dan itu membebani perekonomian mereka. Dalam melaksanakan tradisi mendiwa ulun mate juga membutuhkan dana yang besar karena rangkaian acara/ritual yang dilakukan serta keperluan-keperluan yang menjadi syarat mutlak dalam penyelenggaraannya membutuhkan dana besar.
Faktor lainnya adalah agama. Masuk dan berkembang pesatnya organisasi keagamaan dalam kehidupan masyarakat mempunyai peran memberikan pemahaman baru kepada masyarakat. Jauh sebelum agama Islam masuk ke Indonesia masyarakat sudah mengenal ajaran Hindu dan Budha, jadi tradisi masyarakat juga banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama terdahulu.
Masuknya ajaran agama Islam masuk banyak merubah kebiasaan dan tradisi masyarakat. Hal-hal yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam, diganti dengan keyakinan baru, sedangkan budaya merupakan sebuah kebiasaan yang pada akhirnya menjadi sebuah tradisi yang tidak wajib lagi. Namun jika agama dan budaya bisa berjalan beriringan akan membawa masyarakat menjadi lebih baik.
Tradisi mendiwa ulun mate dan tradisi opot puluh lo ini dulunya sangat penting tradisi . Jika ada anggota keluarga yang meninggal merupakan suatu kewajiban untuk dilaksanakan karena disamping sebagai bentuk penghormatan terhadap orang meninggal juga memiliki fungsi sosial budaya, solidaritas, gotong royong dan kekerabatan.
Namun kini masyarakat sudah acuh bahkan seolah-olah menganggap bahwa tradisi mendiwa ulun mate tidak penting lagi sehingga menerka meninggalkan tradisi ini.
Dari segi bentuknya tradisi mendiwa ulun mate mengalami sedikit pergeseran hal ini tergambar dari adanya pengurangan kewajiban-kewajiban tertentu dan adanya penggantian ritual.
Dari segi peralatan salah satu yang merupakan kewajiban dalam tradisi mendiwa ulun mate adalah penyedian kebutuhan seperti: ayam, kambing, sapi, telur, kue-kue tradisional, bias pulut (nasi ketan), piring (pinggan), pakaian. Dari segi perlengkapan upacara mendiwa ulun mate (menurunkan orang mati) unsur-unsur yang dulunya merupakan suatu kewajiban kini tidak lagi wajib seperti, kambing diganti dengan ayam namun jumlahnya diperbanyak, atau sapi diganti dengan kambing.
Leave a Reply