Community Forestry Enterprise
Jakarta 14/11/2016 – Bagaimana cara terbaik mengelola sumberdaya hutan Indonesia ke depan menjadi topik hangat dalam diskusi Kick-off workshop Community Forestry Enterprise (CFE) yang diselenggarakan oleh Samdhana, Rainforest Alliance, Ford Foundation dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Jakarta 14/11/2016.
Acara ini menghadirkan narasumber seperti Abdon Nababan Sekjen AMAN, Nurdiana Bariyah Darus RA’s New Southeast Asia Director, Wiratno Dir PKPS, Apik Karyana Ditjen PSKL KLH-K, Hodgdon, Director Forestry Rainforest Alliance, Steve Rhee, Ford Foundation, Nonette Royo, Samdhana Implementasi CFE Indonesia, Cristi Nozawa, Direktur Eksekutif Samdhana dengan fasilitator M. Zainuri Hasyim.
Indonesia sendiri telah mencoba program percontohan kehutanan masyarakat, tetapi masih terbatas. Tetapi pemerintahan Jokowi – JK sudah menargetkan 12,7 juta hektar program pencadangan areal perhutanan sosial. Sebuah sistem pengelolaan hutan lestari dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat. Pelaku utama pengelolaan adalah masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat demi meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budayanya.
Sekjen AMAN Abdon Nababan menyampaikan beberapa masukan penting, menurut Abdon gagasan pengelolaan sumber daya hutan bukan gagasan baru, sudah dicoba beberapa kali, salah satunya di Sungai Utik. Tapi sebagai unit manajemen berbasis komunitas, pengelolaan secara holistik (menyeluruh) Sungai Utik tidak jadi. Malah sekarang yang berkembang di Sungai Utik adalah pariwisata (environment services), bikin film documenter dan penelitian. Environment services berkembang di luar kayu.
Masyarakat adat tentu saja ingin menjual kayu, walaupun sudah bersertifikat buyling namun masih takut nebang pohon . Trauma hukum yang dihadapai oleh masyarakat adat menjadi tantangan program ini. Menurut Abdon Nababan memulihkan trauma masyarakat adat terhadap hukum harus menjadi agenda penting, supaya masyarakat adat tidak takut nebang pohon.
“Peluang ini terbuka baik buat masyarakat adat maupun bukan masyarakat adat yang basis HAMnya bukan asal-usul. “Menteri KLH-K baru saja menandatangi Peraturan Menteri KLH-K No 83. Untuk Masyarat Adat juga sudah ada Permen LHK No 32 tahun 2015, walaupun kita tahu peraturan menteri ini hanya bisa bekerja sesudah ada Peraturan Daerah (Perda) panjang jalannya,” papar Abdon lebih lanjut.
“Untuk bisa menetapkan hutan adat dengan menggunakan Perda saja harus melalui sembilan tahapan, contohnya Perda Provinsi Kaltim No 1/ 2015, Perda Enrekang delapan tahapan, Perda Kajang enam tahapan. Kalau merujuk Putusan MK 35 bahkan sembilan tahapan,” lanjutnya.
“Tapi ada juga jalur tempuh ke dua menggunakan Permendagri No 52 pakai SK bupati prosesnya lewat panitia walaupun KLH-K mengharuskan lewat Perda. Jalur tempuh ke tiga pakai Peraturan Menteri ATR No 10 tahun 2016. Jalur ke empat yang bisa ditempuh oleh masyarakat adat itu adalah UU Desa, ini lebih rumit lagi, lebih lama, bahkan hampir tidak mungkin. Alasan pertama sebelum Perda penetapan di level kabupaten harus didahului Perda provinsi. Empat jalur pengakuan ini panjang sekali. Itu tantangannya dari sisi hukum.
Kalau dari sisi pengelolaan masyarakat adat saat ini sudah mengelola wilayahnya. Jadi secara politik de fakto, orang sekarang takut masuk ke wilayah adat, tidak seperti dulu lagi. Tapi dari de fakto menjadi de jure tantangannya luar biasa. Dari empat jalur pengakuan itu empat-empatnya sulit. Yang termudah dari masyarakat adat sekarang ini Komunitas Kajang, tidak ada orang yang meragukan Kajang itu adalah masyarakat adat, tapi prosesnya tiga hingga tahun.
Begitu urusan legalitas beres Abdon yakin program ini bisa berjalan dan pengalaman studi banding ke Amerika latin bisa dilaksanakan, sebab kondisi masyarakat adat di Indonesia jauh lebih bagus dari di sana, baik dari segi tatanan sosial, tatanan budaya, relatif masih berfungsi.
“Jangan dibenturkan masyarakat adat dengan keaslian, sebab di muka bumi ini tidak ada yang asli. Selama Orde Baru berkuasa cara berpikir melihat rakyat itu selalu dicurigai sebagai penjahat. Bagaimana melihat rakyat itu sebagai solusi, rakyat itu adalah kekuatan, memang tidak mudah,” kata Abdon.
“Peraturan Menteri KLHK tentang perhutanan sosial dan Peraturan Menteri tentang hutan hak adalah satu media untuk memulihkan trauma tersebut. Persoalannya apakah para birokrat sabar karena ini dialog multi pihak prosesnya panjang. Kalau sedikit saja ruangnya dibuka untuk membicarakan hal-hal yang lebih esensial di balik pasal-pasal itu, masyarakat adat siap dan prosesnya akan lebih cepat,” jelas Sekjen AMAN tersebut.
Perhutanan Sosial
Apik Karyana menyampaikan bahwa pertemuan ini adalah kesempatan untuk berbagi pengalaman agar social forestry Indonesia bisa dikembangkan. Menurut Apik Karyana Kepres Satgas Masyarakat Adat perlu segera ditandatangani presiden, sebab peran Satgas sangat strategis dan tugasnya banyak. Disamping melakukan idenfikasi Satgas juga mendorong lahirnya RUU Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat karena RUU Masyarakat Adat sendiri tidak ada lagi dalam daftar Prolegnas 2017.
Lebih jauh Apik Karyana mengatakan bahwa ada tiga hal penting dalam pengusahaan hutan oleh komunitas, yaitu memastikan kawasannya, masyarakatnya harus ada, bagaimana mempertemukan buyers dan seller. “Sehingga rantai-rantai bisnis yang ada di perhutanan sosial seperti eko wisata dan industri kayu bisa berjalan,” papar Apik.
Dalam kesempatan ini Wiratno menekankan perlunya kerjasama kolektif (multi pihak) baik antara pihak pemerintah, LSM, swasta dan perguruan tinggi. Perhutanan sosial harus dibangun atas kesadaran kolektif dan aksi bersama.
Sementara itu Steve Ree mengatakan time is everything. Dia bersama lembaganya sudah lama merencanakan kerjasama studi banding belajar, khususnya dengan Brasil, tapi kesulitan mencari waktu yang tepat serta orang yang pas. Ada banyak hal yang bisa dipelajari di sana. Steve berharap peserta studi banding berikutnya bisa melihat bagaimana peran pemerintah di messo Amerika dan berharap peran pemerintah Indonesia dalam hal ini Satgas Masyarakat Adat segera dibentuk agar bisa bekerja sama.
Nonette mengatakan pada saat masuk dengan program bio diversity itu sudah dipikirkan bersama mitra Bappenas dan Kehutanan namun belum mengetahui di mana wilayahnya dan pemetaan adalah salah satunya. “Peta dengan sistem pengelolaan yang didokumentasi melalui KPSHK (Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan) jadi ini sudah lama dan tidak asing. Tapi makan waktu cukup lama agar bisa dimanfaatkan sebagai aset oleh pemerintah sendiri,” papar Nonette.
Sebelumnya Mirza Indra Dir PSD PB AMAN menceritakan pengalamannya saat melakukan studi banding ke komunitas-komunitas adat yang sudah melakukan usaha pengelolaan hutan sendiri (Community Forestry Enterprise) di Meksiko dan San Juan.
Beberapa catatan penting Mirza dalam studi banding tersebut, bahwa masyarakat adat di Messo Amerika memaksa pemerintah untuk mengakui dan mengembalikan wilayah adat. Membentuk dan membangun organisasi yang kuat. Membuat peta, penyusunan perencanaan dan penggunaan ruang wilayah adat. Mengelola sumber daya kayu yang tersedia di wilayah adat untuk mendapatkan modal awal. Menyediakan lapangan kerja untuk anak-anak muda. Menyelenggarakan musyawarah adat secara reguler. Bekerja sama dengan berbagai pihak dan mendapat sertifikasi.
Leave a Reply